
Sorotkeadilan.id – Jakarta, Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan publik seiring lambatnya proses pengesahan di DPR. Para pengamat menilai, regulasi ini sulit diberlakukan karena minimnya kemauan politik (political will) dan kekhawatiran akan dampak yang dapat menjangkau aset tidak sah yang dimiliki kelompok elite.
Legislator adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang susah dan tidak mau memberlakukan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset karena minimnya kemauan politik (political will) dari sebagian besar elite politik dan adanya kekhawatiran akan dampak hukum yang radikal terhadap kekayaan yang tidak sah. Kekayaan yang tidak sah adalah konsep kunci dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Istilah ini merujuk pada kekayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara legal oleh pemiliknya. Dalam konteks hukum antikorupsi dan RUU Perampasan Aset, kekayaan tidak sah sering dikaitkan dengan konsep “Unexplained Wealth” Kekayaan yang Tidak Dijelaskan atau “Illicit Enrichment” Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah. Kekayaan yang tidak sah adalah harta benda atau aset berupa uang tunai, properti, kendaraan mewah, saham, dll, yang memenuhi kondisi, Tidak Sesuai dengan Profil Penghasilan. Aset tersebut memiliki nilai yang jauh melebihi atau tidak sebanding dengan, pendapatan atau penghasilan resmi yang sah (gaji, tunjangan, warisan, usaha legal) yang diperoleh pemiliknya. Sumber kekayaan lain yang dapat dibuktikan keabsahannya.
Beban Pembuktian Terbalik (Reverse Burden of Proof), Inilah inti dari konsep ini yang radikal. Negara pada Jaksa/Penuntut cukup menunjukkan bahwa terdapat ketidakwajaran yang signifikan pada kekayaan seseorang. Pemilik aset terduga pelaku kemudian wajib membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh dari sumber yang sah dan legal. Jika pemilik aset gagal memberikan bukti yang meyakinkan mengenai asal-usul kekayaannya, maka aset tersebut dapat dikategorikan sebagai “kekayaan yang tidak sah” dan berpotensi dirampas oleh negara.
Fokus pada Aset (In Rem), pendekatan ini berfokus pada asetnya, bukan pada pemidanaan individunya. Artinya, perampasan dapat dilakukan meskipun pelaku tindak pidana belum atau tidak bisa dihukum pidana (misalnya, melarikan diri, meninggal dunia, atau sulitnya pembuktian pidana). Proses perampasan dilakukan melalui jalur perdata.
Meskipun RUU ini didorong kuat oleh pemerintah dan masyarakat, ia terus terhambat oleh Ancaman Politik dan Pribadi. Ini adalah penyebab utama yang paling sering disoroti oleh aktivis antikorupsi, Penerapan Pembuktian Terbalik: RUU Perampasan Aset mengadopsi mekanisme Perampasan Aset Berbasis Non-Pemidanaan (Non-Conviction Based Asset Forfeiture). Artinya, aset dapat disita oleh negara hanya berdasarkan bukti bahwa kekayaan tersebut tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan sumbernya secara sah, tanpa harus menunggu vonis pidana terhadap pemiliknya. Target Anggota Elite: Karena konsep ini sangat kuat, RUU ini dianggap menjadi ancaman serius bagi pejabat publik, politisi, atau anggota elite yang memiliki kekayaan tidak sah yang sulit dibuktikan melalui jalur pidana konvensional. Mereka, yang memiliki kekuasaan untuk mengesahkan UU, memiliki insentif politik untuk menunda atau menggagalkannya.
Alasan Teknis dan Hukum. DPR sering menggunakan alasan teknis sebagai justifikasi penundaan. Tumpang Tindih Regulasi, RUU ini dianggap berpotensi tumpang tindih dengan undang-undang antikorupsi yang sudah ada, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Prioritas Legislasi Lain, DPR sering beralasan bahwa mereka harus memprioritaskan penyelesaian RUU lain yang dianggap mendesak (misalnya revisi UU tertentu atau KUHAP) terlebih dahulu sebelum membahas RUU Perampasan Aset. Perdebatan Asas Hukum, adanya perdebatan bahwa mekanisme perampasan aset tanpa vonis pidana dapat berbenturan dengan asas praduga tak bersalah yang dianut dalam sistem hukum Indonesia.
Kurangnya Tekanan dan Kontinuitas. RUU ini telah ada sejak tahun 2008, melewati beberapa periode kepemimpinan dan parlemen. Lambatnya proses ini juga disebabkan oleh Siklus Politik, Setiap pergantian periode DPR atau pemerintahan, pembahasan RUU ini sering kali harus dimulai dari awal atau kembali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas, menyebabkan proses legislasi yang sangat panjang dan terputus-putus. Lobi yang Kuat, diduga ada lobi-lobi kuat dari pihak-pihak yang tidak ingin RUU ini disahkan, mengingat implikasinya yang sangat besar terhadap pemiskinan koruptor-“Panga Loppo”.
Ketidakberlakuan mekanisme perampasan aset yang efektif di Indonesia berpusat pada kegagalan pengesahan RUU yang memuat prinsip-prinsip radikal seperti Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) adalah mekanisme hukum yang memungkinkan negara atau penegak hukum untuk merampas aset yang diduga kuat berasal dari tindak pidana seperti korupsi, narkotika, atau terorisme tanpa harus menunggu atau membuktikan vonis pidana terhadap pelakunya dan Pembuktian Terbalik akibat minimnya kemauan politik.
