Sorotkeadilan.id – Jakarta, 11 Maret 2025 – Fenomena pemagaran laut di berbagai wilayah pesisir Indonesia semakin menjadi sorotan publik. Praktik ini kerap menimbulkan konflik antara masyarakat nelayan, pengembang, hingga pemerintah daerah. Dalam sebuah diskusi akademik yang digelar di Universitas Esa Unggul, Assoc. Prof. Dr. Irmanjaya Thaher, SH, MH, yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Salakanagara (Unsaka), menyoroti isu ini dari perspektif hukum dan keadilan.

Pemagaran Laut: Antara Hak dan Penyalahgunaan Kewenangan

Pemagaran laut sering kali dilakukan dengan alasan perlindungan ekosistem, keamanan wilayah, atau kepentingan bisnis seperti sektor pariwisata dan perikanan eksklusif. Namun, dalam praktiknya, banyak pagar laut yang justru menghalangi akses nelayan kecil terhadap sumber daya laut.

Menurut Dr. Irmanjaya Thaher, pemagaran laut yang dilakukan tanpa kajian mendalam dan keterlibatan masyarakat pesisir dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum.

“Hukum di Indonesia mengakui laut sebagai bagian dari ruang publik yang harus diakses oleh semua orang, terutama nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut. Jika ada pihak yang memagari laut tanpa dasar hukum yang kuat, itu dapat dikategorikan sebagai tindakan perampasan hak publik,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengakses, mengelola, dan memanfaatkan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Pemagaran laut yang membatasi akses masyarakat dapat melanggar prinsip-prinsip dasar dalam hukum lingkungan dan keadilan sosial.

Aspek Hukum dalam Penegakan Keadilan

Dalam konteks hukum, pemagaran laut dapat menimbulkan sejumlah pelanggaran, seperti:

  1. Pelanggaran Hak Masyarakat Pesisir – Jika pagar laut membatasi akses nelayan, maka itu bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, yang menjamin hak nelayan untuk mengakses sumber daya laut.
  2. Pelanggaran terhadap Tata Ruang Laut – Pemagaran laut yang dilakukan tanpa izin dapat melanggar UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama jika tidak sesuai dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  3. Potensi Korupsi dalam Pemberian Izin – Banyak kasus pemagaran laut terkait dengan proyek reklamasi atau investasi yang melibatkan oknum pejabat yang menyalahgunakan kewenangan.

“Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas dalam menangani kasus pemagaran laut yang melanggar hukum. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk yang merugikan masyarakat kecil dan menciptakan ketidakadilan hukum,” ujar Dr. Irmanjaya Thaher.

Keadilan bagi Masyarakat Pesisir

Selain aspek hukum, perspektif keadilan juga harus diperhatikan dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pemagaran laut. Menurut Dr. Irmanjaya, keadilan harus mencakup keadilan ekologis, keadilan sosial, dan keadilan ekonomi.

Keadilan ekologis memastikan bahwa ekosistem laut tidak dirusak oleh proyek-proyek komersial yang menguntungkan segelintir pihak.

Keadilan sosial mengacu pada perlindungan hak-hak masyarakat pesisir yang selama ini bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan.

Keadilan ekonomi menegaskan bahwa sumber daya laut harus dapat diakses secara adil oleh semua pihak, bukan hanya untuk kepentingan korporasi besar.

“Jika hukum hanya berpihak pada pemodal tanpa mempertimbangkan aspek keadilan bagi masyarakat pesisir, maka kita sedang menghadapi krisis hukum yang serius,” tegasnya.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk menegakkan hukum secara adil dalam kasus pemagaran laut, Dr. Irmanjaya Thaher mengajukan beberapa rekomendasi:

  1. Penegakan Hukum yang Tegas – Aparat penegak hukum harus menindak tegas setiap bentuk pemagaran laut ilegal yang melanggar hak masyarakat pesisir.
  2. Reformasi Regulasi Pesisir – Pemerintah perlu memperbarui regulasi terkait tata kelola pesisir agar lebih berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
  3. Partisipasi Publik dalam Kebijakan Laut – Keputusan terkait pengelolaan laut harus melibatkan nelayan, akademisi, dan organisasi lingkungan.
  4. Transparansi dalam Pemberian Izin – Setiap izin pembangunan di wilayah pesisir harus transparan dan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat kecil.

“Laut bukan hanya milik segelintir orang, tetapi warisan bersama yang harus dikelola dengan prinsip keadilan. Jika hukum tidak ditegakkan secara adil, maka konflik sosial di wilayah pesisir akan terus meningkat,” tutupnya.

Kesimpulan

Kasus pemagaran laut bukan hanya persoalan regulasi, tetapi juga ujian bagi keadilan hukum di Indonesia. Jika hukum terus berpihak pada kepentingan bisnis tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat pesisir, maka dampaknya tidak hanya pada nelayan, tetapi juga pada ekosistem laut yang semakin terancam.

Penegakan hukum yang adil dan transparan menjadi kunci dalam menyelesaikan persoalan ini. Sebagaimana disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. Irmanjaya Thaher, SH, MH, hukum harus berpihak pada keadilan dan keseimbangan antara pembangunan, lingkungan, dan hak-hak masyarakat pesisir.(Diana)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *