Aorotkeadilan.id – Jakarta, Oleh: Assoc. Prof. Dr. H. Irmanjaya Thaher, SH, MH
Rektor Universitas Salakanagara & Managing Partner Thaher Syamsul Law Firm

Pendahuluan

Pemerintah Indonesia tengah mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memungkinkan personel militer aktif menduduki jabatan sipil tertentu. Langkah ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Di satu sisi, revisi ini dianggap sebagai sebuah terobosan dalam mengatasi tantangan kepemimpinan nasional. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan sipil, seperti yang terjadi pada era Orde Baru.

Polemik ini harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Apakah kebijakan ini merupakan bentuk adaptasi atas kebutuhan nasional yang semakin kompleks? Ataukah hal ini justru merupakan langkah mundur yang berpotensi mengancam demokrasi?

Latar Belakang Revisi Undang-Undang TNI

Revisi ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi prajurit TNI yang memiliki kapasitas kepemimpinan dan keahlian tertentu untuk mengisi jabatan-jabatan strategis di pemerintahan sipil. Dalam aturan yang diusulkan, terdapat ketentuan bahwa personel militer yang akan menduduki jabatan sipil harus mengundurkan diri dari dinas aktif.

Kebijakan ini diklaim sebagai jawaban atas kebutuhan akan pemimpin yang memiliki ketahanan fisik, mental, serta disiplin tinggi dalam birokrasi. Di beberapa negara, keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil bukanlah hal yang baru, terutama dalam konteks situasi darurat atau transisi kekuasaan yang membutuhkan stabilitas. Namun, dalam sistem demokrasi modern, keterlibatan ini sering kali dipandang problematis jika tidak diatur dengan ketat.

Potensi Manfaat: Militer sebagai Pemimpin Berkualitas

Dalam perspektif positif, revisi ini bisa menjadi peluang bagi bangsa dalam menghadapi tantangan kepemimpinan nasional. Militer dikenal memiliki sejumlah keunggulan yang dapat memberikan kontribusi bagi tata kelola pemerintahan, di antaranya:

  1. Integritas dan Disiplin yang Tinggi
    Prajurit TNI yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan militer umumnya memiliki integritas yang kuat, loyalitas terhadap negara, serta disiplin yang tinggi. Hal ini dapat membantu memperbaiki tata kelola pemerintahan yang selama ini sering diwarnai oleh praktik korupsi dan ketidakefisienan birokrasi.
  2. Pemahaman Hubungan Sipil-Militer yang Luas
    Pemimpin militer yang telah mendapatkan pengalaman dalam interaksi sipil-militer dapat menjadi aset berharga dalam pengelolaan sektor-sektor strategis yang membutuhkan stabilitas, seperti pertahanan, kebencanaan, dan keamanan nasional.
  3. Kecerdasan yang Seimbang (IQ, EQ, dan SQ)
    Seorang prajurit yang memenuhi syarat untuk menduduki jabatan sipil harus memiliki keseimbangan dalam kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Hal ini penting agar mereka tidak hanya berorientasi pada kepatuhan perintah, tetapi juga mampu memahami kompleksitas permasalahan sosial, politik, dan ekonomi.
  4. Keahlian Teknis dan Manajerial dalam Bidang Sipil
    Tidak semua personel militer memiliki kompetensi yang relevan untuk jabatan sipil. Oleh karena itu, mereka yang diangkat harus memiliki pemahaman mendalam terhadap bidang yang akan mereka emban, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

Tantangan dan Risiko: Ancaman bagi Demokrasi?

Meski memiliki potensi manfaat, keterlibatan militer dalam jabatan sipil tetap harus diatur dengan sangat ketat agar tidak menimbulkan ancaman terhadap demokrasi. Beberapa tantangan utama yang perlu diantisipasi adalah:

  1. Kembalinya Dominasi Militer dalam Pemerintahan
    Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada era Orde Baru, militer memiliki peran yang sangat dominan dalam pemerintahan sipil. Akibatnya, sistem demokrasi menjadi terdistorsi, dan kebebasan sipil mengalami banyak pembatasan. Jika tidak diatur dengan baik, revisi ini bisa membuka jalan bagi kembalinya sistem dwifungsi ABRI dalam bentuk yang lebih halus.
  2. Konflik Kepentingan dan Politisasi Militer
    Masuknya militer dalam jabatan sipil bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan, terutama jika mereka masih memiliki keterkaitan dengan institusi TNI. Selain itu, jika personel militer mulai terlibat dalam politik praktis, netralitas TNI yang selama ini dijaga bisa terancam.
  3. Penguatan Kultur Otoritarian dalam Birokrasi
    Militer memiliki kultur kepemimpinan yang berbasis hierarki dan kepatuhan mutlak. Hal ini bisa menjadi tantangan dalam birokrasi sipil yang lebih menekankan pada prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Jika tidak disesuaikan dengan prinsip demokrasi, masuknya personel militer dalam pemerintahan bisa memperkuat gaya kepemimpinan otoriter yang tidak sesuai dengan semangat reformasi.
  4. Kurangnya Kompetensi dalam Sektor Sipil
    Tidak semua prajurit militer memiliki pengalaman yang relevan untuk mengelola urusan sipil. Jika keterlibatan mereka tidak berdasarkan meritokrasi yang ketat, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang menurunkan efektivitas pemerintahan.

Syarat-Syarat Ideal bagi Prajurit yang Masuk dalam Jabatan Sipil

Agar kebijakan ini tidak mengarah pada penyimpangan, perlu ada kriteria ketat yang harus dipenuhi oleh prajurit TNI yang ingin menduduki jabatan sipil, antara lain:

  1. Memiliki Rekam Jejak Integritas yang Baik
    Prajurit yang akan mengisi jabatan sipil harus memiliki rekam jejak yang bersih dari pelanggaran kode dan pemahaman terhadap penegakan hukum yang tegas
  2. Memahami Dinamika Hubungan Sipil-Militer
    Mereka harus memiliki wawasan mendalam tentang peran militer dalam negara demokrasi dan memahami batasan serta etika dalam pemerintahan sipil.
  3. Memiliki Keseimbangan IQ, EQ, dan SQ
    Seorang pemimpin sipil yang berasal dari militer harus memiliki kecerdasan yang seimbang, baik dari aspek intelektual, emosional, maupun spiritual.
  4. Memiliki Kompetensi dalam Sektor yang Dituju
    Hanya prajurit yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang boleh menduduki jabatan sipil. Misalnya, seorang perwira dengan latar belakang teknik bisa ditempatkan di sektor infrastruktur, sementara mereka yang memiliki pengalaman di bidang kesehatan militer bisa berkontribusi di Kementerian Kesehatan.

Kesimpulan

Revisi Undang-Undang TNI yang memungkinkan personel militer aktif menduduki jabatan sipil bisa menjadi terobosan dalam menjawab tantangan kepemimpinan nasional. Namun, kebijakan ini harus diatur dengan ketat agar tidak membuka kembali pintu bagi dominasi militer dalam pemerintahan sipil.

Dengan menetapkan kriteria yang jelas dan seleksi yang ketat, kebijakan ini bisa menjadi instrumen positif dalam memperkuat tata kelola pemerintahan. Sebaliknya, jika implementasinya tidak hati-hati, hal ini bisa mengancam prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak era reformasi. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dikawal dengan cermat oleh semua elemen masyarakat agar tidak melenceng dari tujuan awalnya.

Tulisan ini disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. H. Irmanjaya Thaher, SH, MH, Rektor Universitas Salakanagara & Managing Partner Thaher Syamsul Law Firm, sebagai bagian dari diskusi akademik dalam memahami dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia.(Diana)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *